Selama ini, saat membicarakan tentang nikmat Allah, seringkali pembicaraan kita hanya berkutat seputar kesehatan, rizki, keturunan, tempat tinggal, kendaraan dan beragam nikmat duniawi lainnya. Memang betul bahwa berbagai nikmat tersebut besar dan amat kita butuhkan. Namun sadarkah kita bahwa di sana ada sebuah nikmat yang jauh lebih besar, yang justru malah sering kita abaikan? Yaitu nikmat kita bisa memuji Allah atas berbagai karunia nikmat duniawi tersebut.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“مَا أَنْعَمَ اللهُ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً فَقَالَ الْحَمْدُ للهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي أَعْطَاهُ أَفْضَلُ مِمَّا أَخَذَ”
“Bila Allah memberikan nikmat kepada hamba-Nya kemudian dia mengucapkan ‘alhamdulillah’; maka sesungguhnya pujian yang ia ucapkan itu lebih utama daripada nikmat yang ia dapatkan”. HR. Ibn Majah dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albany.
Jadi, manakala kita mendapatkan suatu nikmat duniawi besar dari Allah ta’ala, lalu kita mengucapkan alhamdulillah memuji-Nya, sungguh pujian tersebut lebih utama daripada nikmat itu sendiri.
Perlu dipahami bahwa manakala hati kita tergerak untuk mensyukuri nikmat Allah, sejatinya ketergerakan hati kita tersebut juga merupakan nikmat yang tak ternilai dari Allah ta’ala. Dan nikmat tersebut menuntut kita untuk mensyukurinya kembali. Syukur kedua juga merupakan nikmat yang harus disyukuri ulang. Begitu seterusnya, sehingga memang sebanyak apapun kita berusaha mensyukuri nikmat Allah, kita tidak akan pernah bisa ‘membalas’ nikmat-Nya.
Bakr bin Abdullah pernah menasehatkan,
“مَا قَالَ عَبْدٌ قَطُّ: الْحَمْدُ للهِ إِلاَّ وَجَبَتْ عَلَيْهِ نِعْمَةٌ بِقَوْلِهِ الْحَمْدُ للهِ، فَمَا جَزَاءُ تِلْكَ النِّعْمَةِ؟ جَزَاؤُهَا أَنْ يَقُوْلَ: الْحَمْدُ للهِ، فَحَازَ أُخْرَى، وَلاَ تَنْفَدُ نِعَمُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ”
“Apabila seorang hamba mengucapkan alhamdulillah maka sesungguhnya itu adalah nikmat yang harus disyukuri. Cara bersyukurnya adalah dengan mengucapkan alhamdulillah lagi. Hamdalah yang kedua juga merupakan nikmat yang harus disyukuri dengan mengucapkan hamdalah ketiga. Begitu seterusnya. Nikmat Allah tidak akan pernah habis”.
Jadi, saat kita bisa beribadah kepada Allah ta’ala dalam bentuk apapun, baik itu shalat, puasa, dzikir dan yang semisalnya, sebenarnya itu semata-mata karena karunia dari Allah ta’ala. Maka syukurilah karunia tersebut. Jangan sampai justru setelah beribadah malah timbul kesombongan di dalam hati. Merasa sudah bisa ini dan itu! Sebab ketaatan yang kita lakukan bukanlah bersumber dari kekuatan pribadi kita. Namun hanya berkat taufik dari Allah ta’ala.
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 3 Sya’ban 1435 / 2 Juni 2014
Diramu oleh Abdullah Zaen, Lc., MA dari berbagai sumber, di antaranya kitab Fiqh al-Ad’iyyah wa al-Adzkâr karya Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq al-Badr (I/255-259).